Jumat, 29 Agustus 2014

Mimpikan Mulan

Heri. . .

Aku berjalan gontai menuju ruang kerja ayahku. Gadis itu terus berada di pikiranku, kini dia sedang tertidur lelap di ruangan penuh alat yang dipakai di sebagian tubuhnya. Bangunlah Mulan, kamu tak bisa terus koma seperti itu. Tubuhku lemas luar biasa, seolah - olah selang - selang infus itu juga menyakitiku. Bagaimana bisa gadis itu bersikap bodoh meminum obat tidur melebihi dosis yang dianjurkan. Tak tahu kah dia betapa sakitnya aku setiap kali melihatnya bersedih. Aku sangat mengerti mengapa dia selalu merasa tersakiti oleh kehidupannya. Tapi mengapa? Bahkan setiap kali aku ingin dia tahu apa yang aku rasa, matanya mengisyaratkan satu hal yang memang tak seharusnya aku ungkapkan.

Tuhan tak tidur Heri. .kamu hanya perlu bersabar untuk tahu jawaban yang tepat.

Kata - kata Suster Teressa mengiang di kepalaku dengan jelas. Aku teringat ketika harus meneteskan air mata di depan altar ketika berdoa untuk gadis bodoh itu. Air mata itu membalikan semua penyangkalan bahwa aku tidak mencintainya adalah salah besar. Air mata hari itu membuatku mengerti, penderitaan Mulan lebih dari perasaan tersiksaku menerima sebuah keadaan yang memang tak akan bisa terungkapkan.
Aku berhenti sejenak di depan pintu ruang ayahku bekerja. Ada seseorang di sana, dari sekat kaca kecil aku tahu bahwa ada tante Citra di dalam. Matanya sembab tak bercahaya, aku tahu kegundahan yang beliau rasakan sama beratnya dengan yang aku rasa. Aku tahu beliau menangis, tapi aku tak tahu persis apa yang mereka bicarakan yang jelas aku sangat yakin semuanya tentang gadis bodoh itu.

"Berdoalah Citra. . .kita masih bisa berharap, keajaiban itu sungguh nyata jika kita yakin." Kata ayah tenang, pembicaraan mereka kembali memeras kesedihan dalam hati ini. Hatiku terasa tersayat jika harus menemukan keadaan bahwa gadis itu benar - benar lemah, tanpa kepastian kapan akan terbangun dari tidur panjangnya. Dua minggu lebih dia koma, selama itu pula kami harus bergantung pada harapan yang entah akan seperti apa akhirnya. Entah berapa tetesan air mata yang harus dihabiskan tante Citra selama itu.

"Permisi. ." Kataku memotong pembicaraan mereka. Tiba - tiba hening, tak ada pembicaraan lagi tentang Mulan. Mungkin karena kedatanganku yang memang membuat mereka berhenti. "Apa aku mengganggu?" Tanyaku datar.

Mereka saling berpandangan lagi. Tapi tiba - tiba tante Citra beranjak dari tempatnya. "Aku akan kembali menemani Mulan." Katanya sendu. Tak ada lagi kecerahan yang muncul dari ibu tiri yang lembut itu. Matanya sembab, tubuhnya seolah rapuh oleh penderitaan. Aku tahu benar apa yang dia rasakan, pastilah begitu berat, aku tak bisa bayangkan apakah akan ada lagi orang - orang tulus seperti beliau. Aku masih ingat benar apa kata - kata Mulan saat itu, Mulan sebernya ingin lepas dari wanita ini. Bukan apa - apa, Mulan hanya tak ingin ibu tirinya yang baik hati ini harus bersedih karenanya. Beliau bukan siapa - siapa, sungguh. Hanya seorang ibu tiri, tapi kasihnya pada Mulan luar biasa adanya. Beliau hanya tersenyum pahit ketika menghampiriku. Sebenarnya aku ingin sangat kuat untuk tersenyum. Tapi tak bisa, aku masih kaku berdiri dengan kesedihan yang aku rasakan saat ini sampai dia hilang di balik pintu.

"Duduklah, sampai kapan kamu akan termangu seperti itu?" Teguran ayah membuyarkan semua. Aku segera duduk di hadapan ayahku, sebenarnya aku tidak ingin berada disini. Aku yakin ayah akan membuatku bingung dengan kata - katanya yang tak ingin aku dengar. "Ayah sudah mendapatkan informasi tentang beasiswa yang kamu ajukan ke beberapa universitas di Eropa dan Asia Timur. Ini dari Hale University Jerman dan Ini dari Stanford Amerika." Katanya tenang, sambil mengambil dua amplop coklat berukuran sedang dari laci mejanya.
Aku hanya diam, pikiranku berputar. Aku tak menghawatirkan apa - apa tentang kelulusan pengajuan beasiswa itu, karena aku tahu pengajuanku akan berjalan mulus. Jerman, Amerika, apa dengan ini aku bisa mulai melupakan semua hal tentang gadis bodoh itu. Seandainya kamu bangun Mulan, aku akan menyuruhmu untuk memilihnya. Batinku kembali kacau, aku benar - benar ingin dia bangun dari koma, walau aku tahu tak akan jadi lebih baik setelah itu. "Aku belum putuskan" Kataku datar. Sungguh sebenarnya aku sangat ingin lepas dari kelelahan tak nyata ini. Aku rapuh, tak ada alasan untuk bisa bersemangat sedikit saja. Aku ingin di sampingnya Tuhan. Tundalah takdirku jika bisa, agar aku tak harus memilih kemana aku harus pergi untuk melupakan gadis bodoh itu.

"Waktu kamu kurang dari tiga bulan, jika kamu tak memutuskan dari batas itu perjuanganmu selama ini akan sia - sia." Lagi - lagi suara ayah terdengar menyakitkan buatku. Haruskah aku pergi saat dia seperti ini, ini konyol luar biasa. Aku tak memikirkan mimpiku lagi saat ini. Yang aku inginkan hanyalah melihat Mulan terbangun sebelum aku menyelesaikan tanggung jawabku pada keluarga. Khususnya ayah.

"Aku izin pulang, aku akan putuskan tapi tidak sekarang." Kataku datar. Aku mengambil dua amplop itu di atas meja, lalu bergegas dari ruangan ayah berada.

Aku kembali ke ICU sebelum pulang. Sama seperti tadi, tak ada siapapun di sana. Pikiranku melayang ketika melihatnya di balik kaca ini, seandainya saja banyak orang yang mengerti gadis bodoh ini. Mungkin saat ini dia tak akan sendirian di sini, setidaknya akan ada banyak orang yang akan mendampinginya yang bisa membuatnya bersemangat untuk bangun lebih cepat. Tuhan, jangan tahan dia di antara hidup dan mati-Mu. Kumohon. Dadaku sesak luar biasa. Ingin rasanya menahan air mata ini, tapi menetes begitu saja. Aku yakin jika ada yang melihatku saat ini, pastilah menyangka aku ini pria pecundang. Hatiku sakit bukan main, rasanya Tuhan telah menghukumku dengan semua takdir yang telah Dia buat. Dengan seluruh kekuasaan-Nya.

Tak lama berselang, tante Citra muncul di seberang ruangan membawa sebuah kantong yang terbuat dari kertas. Aku tak tahu jelas apa isinya, dan memang sepertinya beliau tak menyadari aku di sini mengamati mereka. Seperti biasa, wajahnya sembab tak bercahaya. Beliau lebih rapuh dari aku, beliau mengambil sebuah kursi dekat dinding lalu duduk di samping Mulan yang masih belum sadarkan diri. Beliau kembali menangis, beliau mengusap lembut anak tirinya sesekali. Kadang menyeka air matanya sendiri, aku tahu seberapa rapuhnya beliau. Sungguh, walaupun Mulan bukan darah dagingnya sendiri beliau benar - benar menyayangi Mulan sepenuh hati. Aku dengar beliau memang wanita yang sangat baik, tak pernah sedikitpun dia mengeluh harus mendapingi kebodohan Mulan walau aku tahu makin hari beliau makin rapuh dan sedih seiring kondisi Mulan yang semakin drop setiap hari. Ku dengar sudah sejak lama beliau tak temui orang tuanya. Menjalani hidupnya sendirian dan tanpa restu orang tua beliau semenjak menikah dengan Ayah Mulan karena perbedaan kepercayaan. Ya, persis seperti aku dan Mulan. Hidup memang pilihan bukan, kita bisa memilih kebahagian dan menciptakannya sendiri.
Bangun Mulan, tak maukah kamu pertemukan ibumu dengan orang tuanya? Bukankah kamu pernah berencana untuk pertemukan mereka lagi? Bukankah kamu bilang akan belajar tegar jika orang - orang yang kamu cintai bahagia. Tuhan, kupasrahkan Mulanku. Jagalah dia untukku seperti yang telah Engkau lakukan selama ini. Sungguh, tak tahu lagi rasannya bagaimana obati kesedihan ini bila harus melihatnya terbaring koma lebih lama lagi.
Kulangkahkan kakiku pulang semampuku, tiap langkah terasa semakin berat. Maafkan aku Mulan, aku hanya pria pecundang. Menjagamu pada saat ini saja tak bisa. Maaf aku menutupi kenyataan. Bayangan gadis bodoh itu tiba - tiba datang silih berganti. Mengujam keras batin yang tak lagi mampu menutupi getirnya kenyataan yang ada. Tangisannya, senyumnya seolah - olah mencampur aduk jadi satu. Dalam dan dalam menghancurkan sisa - sisa ketegaran yang ada.

Bersambung yaa. .
Kapan - kapan nulis again di plot yang berbeda. Yaa namanya juga ide kalo ada ya ditulis, kalo engga ya nganggur aja gitu :D
Sukur - sukur kalo ada yang penasaran.

Kritik dan sarannya lampirkan sajah di mellahermanto@gmail.com

Makasih :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar